Rabu, 29 Juni 2011

Amal sebagai isteri yang setia


Seorang laki-laki yang mempunyai empat orang isteri suatu hari merasa telah sampai di ujung ajal, setelah sekian lama menderita penyakit kronis. Bayangan malaikat maut sudah ia rasakaan dekat menjemput, maka ia segera panggil empat orang isterinya satu persatu. Yang pertama ia panggil tentu isterinya yang termuda, yang paling cantik dan paling ia cintai. Setelah sang isteri tersebut ada di depannya, ia pun berkata : “Isteriku sayang, sepertinya sakit aa sudah di puncaknya dan aa merasa akan segera dipanggil Yang Maha Kuasa, oleh karena itu aa ada satu permintaan, satu saja, tolong jangan ditolak, selama ini aa sudah melakukan apa saja untukmu sayang, apa pun permintaanmu sudah aku penuhi, kini di ujung hidup aa,  hanya ada satu permintaan, “ suaranya terdengar putus-putus karena nafasnya makin terasa sesak.
Dalam hatinya membuncah harapan besar kiranya isteri tercintanya tersebut tidak menolak permintaannya. “permintaan apa kakanda sayang?” tanya isterinya. “jika malaikat maut mencabut nyawa aa, maukah engkau menemaniku ke alam kubur, agar aku tidak  kesepian, aku tidak ingin berpisah denganmu sayang, bukankah dulu kita berjanji sehidup semati?” katanya dengan penuh harap. “apa?” jawab isterinya sambil membelalak matanya seperti mau copot. “aku suruh menemanimu mati?.....no no no....tidak mau, aku tidak mau...aku masih muda, masih cantik, pasti masih banyak yang mau denganku”  setelah mengatakan itu ia pun segera berlalu dari hadapan suaminya. Betapa kecewa dan sakit hati laki-laki itu, perempuan yang selama ini begitu ia cintai, mengalahkan cintanya pada isteri-isterinya yang lain, segala permintaannya telah ia turuti, tapi kini giliran ia meminta satu permintaan saja, yang permintaan itupun merupakan janji ketika pertama kali bertemu kemudian menikah untuk sehidup semati, nyatanya kini hanya tinggal kenangan hitam yang menyakitkan, janjinya ternyata hanya secuil kapas yang sangat enteng ketika diterbangkan angin.
 Lalu ia panggil isterinya yang ke 3. Barangkali isteri ketiganya mau menemaninya di alam kubur, jika ia ingat saat perjuangannya untuk dapat menyunting wanita idamannya tersebut, ia jadi senyum sendiri, betapa tak kenal lelah melobi, merayu dan bahkan tak segan menjual harga dirinya, manjatuhkan teman dan saudaranya demi menonjolkan kebaikan dirinya, tentu agar  dialah yang dipilih oleh wanita pujaannya itu. Ketika isteri ke 3nya telah hadir di depannya, iapun merintih minta kesediaan isteri ke3nya itu untuk menemaninya di alam kubur jika ia meninggal nanti. Namun apa jawab isteri ke3nya? Tidak jauh beda dengan isteri ke4, ia menolak dengan alasan masih banyak orang yang mau menggilirnya jika suaminya meninggal dunia. Lagi-lagi kecewalah sang lelaki yang pernah perkasa itu. Dadanya tampak berguncang-guncang karena nafasnya seolah sudah mau berhenti. Ketika isterinya berlalu dari hadapannya, ia masih sempat mengumpat : “dasar isteri tak tahu balas budi, tahu akan begini, dulu aku tak sudi besusah-susah mengejarmu hingga sampai jual harga diri.”
      Harapan tersemat pada isteri keduanya, barangkali isteri keduanya ini mau mengerti, karena meskipun ia merasa terkhianati, pasti masih ada sedikit rasa iba melihat suaminya terkapar tak berdaya.  Tapi ternyata tidak memuaskan juga jawabannya, ia mau menemani tapi hanya untuk beberapa hari saja, tidak bisa selamanya. Isteri keduanya ini paham betul akan cinta dan kasih sayang isteri pertamanya, ia bukan tidak mau, namun merasa bukan orang yang pantas untuk itu, yang pantas adalah isteri pertamanya, cintanya tak pernah pudar meski noda demi noda pengkhianatan dilakukan oleh suaminya, dibantu dan disokong sepenuhnya oleh isteri-isteri berikutnya yang awalnya adalah perselingkuhan, skandal dan pesta pora hawa nafsu.
      Akhirnya, ketika isteri ke4, ke3 dan ke2 telah berlalu, tanpa harus dipanggil, isteri pertamanya datang, ia tahu betul kalau suaminya tidak memiliki niat sama sekali untuk memintanya menemani sampai ke alam kubur. Sang suami pasti malu. Malu karena telah berkhianat pada cintanya. Tapi sang isteri tetap tabah, ikhlas dan tidak merasa dendam. Dengan perlahan namun penuh kemantapan, ia berkata : aanda sayang, ii tahu apa yang aanda gelisahkan saat ini, aa tidak usah khawatir terhadap apa yang akan terjadi, ii siap menemani, mendampingi dan menghibur aa di alam baka ….ii tetap sayang pada aa, meskipun ii sudah diduakan, ditigakan dan bahkan diempatkan….ii tidak pernah marah, ii tetap setia, karena ii yakin kalau ii adalah cinta sejati aa, ii adalah belahan jiwa aa, ii adalah bagian hidup aa yang tidak mungkin dipisahkan……. Oooiii, betapa sejuknya kalimat-kalaimat itu, lelaki itu merasa ada nyawa yang tersambung lagi di tubuhnya yang sudah tak berdaya, nafasnya yang tadinya putus-putus, kini lancar kembali. Sesaat lelaki tua bangka itu merasa hilang keciutannya menghadapi mati, namun tiba-tiba rasa malu dan sesal datang menyergap. Ya, malu karena selama ini ia telah mengkhianati cinta dan kesetiaan isteri pertamanya itu. Tampaknya kesadarannya baru muncul, bahwa isteri pertama adalah cinta pertama yang sebenarnya, cinta dalam arti yang sebenarnya. Sedangkan isteri kedua, ketiga dan keempat hanya cinta semu yang diliputi nafsu. Mereka tidak setia dan tidak kekal. Cinta mereka tergantung kepada seberapa besar materi yang diberikan. Duit tipis, cintapun habis, ada uang abang disayang, tiada uang abang ditendang! Ia tengah menikmati betapa sakitnya tendangan demi tendangan dari isteri ke empat, isteri  ketiga dan isteri keduanya.  Kini lelaki itu tengah sampai pada kesadaran yang sempurna tentang itu semua. Namun semuanya sudah terlambat, karena detik demi detik, waktu sedang menggerogoti usianya; kini tinggal penyesalan yang menyekap ulu hatinya. Perlahan nafasnya kembali tersengal-sengal, sakarotul maut kembali hadir menjemput. Dalam kaburnya pandangan, ia masih sempat melihat isteri pertamanya berusaha memijit-mijit dan melumuri tubuhnya dengan balsem. Aduh, betapa setianya isteriku, pekiknya dalam hati. Tapi suaranya tidak keluar. Ia ingin meminta maaf atas perlakuannya selama ini dan mengucapkan terima kasih atas kesetiaannya dan kesediaannya  menemani  ke alam kubur. Tapi lagi-lagi ia makin merasa tiada daya lagi, rasa lemas, lunglai, kunang-kunang, kelabu, hitam, kelam, makin pekat, gelap……….Innaa lillaahi wa innaa ilahi roji’uun.
      Pengumuman kematiannya melalui corong di Musholla kampungnya  memecahkan sunyi pagi. Seorang lelaki yang pernah tercatat sebagai lelaki perkasa, bahkan ada yang menjulukinya dengan “bandot”, telah sampai ke ajalnya, tiada yang mampu mencegahnya, bahkan keperkasaan atau kebandotannya sekalipun. Tapi ada yang pasti dapat dipetik oleh siapapun yang masih hidup :  hikmah, pelajaran, atau ibroh dari kehidupannya, untuk menjadi cermin ………     
      Pembaca, saudaraku, siapakah lelaki tua bangka yang gelisah ketika hendak dijemput maut itu? Siapakah pejantan yang tak berdaya dan kecut menghadapi mati? Siapakah pria yang tak lagi perkasa itu dan takut hidup sendiri di alam kubur? Ternyata ia bukan siapa-siapa, ia adalah kita sendiri. Aku dan Anda semua. Ya, hakikatnya dalam hidup ini kita memiliki 4 (empat) orang isteri. Jika Anda seorang perempuan, maka keempat orang itu adalah “suami” Anda. Suami dalam tanda kutip. Jika kita ini sudah pasti : aku dan anda semua, maka siapakah ke-empat orang isteri atau “suami” kita ?
      Saya tidak mau berteka-teki. Itu adalah gambaran sikap dan tingkah laku kita dalam hidup ini. Sikap dan tingkah laku kita sering  atau bahkan selalu terburu nafsu, jika ada hal yang baru, kita segera tertarik dan bahkan ingin segera memerolehnya, kita lupa pada apa yang sudah kita miliki. Kalau kita sudah memeroleh yang baru, kita selalu lebih mencintai yang baru dan cenderung mengabaikan yang lama, padahal yang lama sebenarnya masih baik dan diperlukan, sedangkan yang baru justru belum tentu baik dan belum tentu juga diperlukan.
      Saya mau langsung beritahu Anda, bahwa empat orang isteri atau “suami”  kita adalah : isteri pertama adalah gambaran amal perbuatan kita, isteri kedua adalah gambaran keluarga kita, isteri ketiga adalah gambaran harta benda kita, dan isteri keempat adalah gambaran dari pangkat/jabatan/status sosial kita.
Penjelasannya sebagai berikut :
  1. Isteri pertama adalah amal perbuatan kita.
    Karena ingin memeroleh pangkat/jabatan/status sosial (isteri ke4), harta benda ( isteri ke3) dan kecintaan dari keluarga (isteri ke2), kita sering berbuat nekat, artinya tidak memerhatikan amal perbuatan kita : apakah amal perbuatan (baca : cara kerja, tindakan, sesuatu yang kita lakukan) untuk meraih ketiganya itu baik atau buruk. Kita sering tidak peduli pada baik atau buruk, halal atau haram, yang penting tujuan tercapai. Padahal amal perbuatan inilah yang akan setia menemani kita ke alam kubur, laksana isteri pertama yang selalu setia, bahkan sampai di akhirat, karena itulah yang dinilai oleh Allah SWT. Jika amal perbuatannya baik, ia memiliki nilai investasi positif di akhirat (: surga), sedangkan jika amal perbuatannya buruk, ia memiliki nilai investasi negatif di akhirat (: neraka). Amal perbuatan bernasib sama dengan isteri pertama, ia tidak pernah lagi diperhatikan dan dipedulikan, ketika kita tengah sibuk mengejar jabatan, memburu harta benda atau menarik kecintaan keluarga. Baru saat kita diujung ajal, di mana kita sangat memerlukan teman, ternyata pangkat/jabatan/stauts sosial tidak mau menjadi teman setia, demikian juga harta dan keluarga, semuanya pamit meninggalkan kita. Amal perbuatan, isteri pertama kita, justru yang selama ini disia-sia, terdzalimi, malah tetap setia menemani kita. Di sinilah penyesalan tiada arti lagi, mengapa tidak kita percantik amal perbuatan kita sejak dulu, sehingga ketika akan menjadi teman selama-lamanya di alam kubur, bahkan sampai ke alam akhirat, ia tetap dapat menyenangkan dan membahagiakan kita.
  1. Isteri kedua adalah keluarga kita.
    Isteri/suami (dalam arti sebenarnya), anak-anak, orangtua, saudara, paman, bibi,  kakek, nenek, adalah keluarga kita. Kita selalu mencintai dan ingin mendapat cinta juga dari mereka. Tapi mereka pasti tidak mau menemani kita ke alam kubur. Mungkin pada hari pertama, kedua atau ketiga dari kematian kita, mereka masih menemani kita  dengan doa-doa dan bacaan-bacaan lain yang dapat sedikit menghibur kita di alam kubur. Namun setelah itu, mereka pasti segera melupakan kita. Isteri atau suami kita, segera kawin dengan laki-laki atau perempuan lain, anak-anak tumbuh dan sibuk dengan kehidupannya sendiri, keluarga yang lain apalagi…..tidak mungkin mereka menjadi teman setia di alam kubur.
    Kecuali,  jika mereka kita didik dengan ajaran agama yang kokoh, insya Allah, mereka akan menemani kita dengan doa-doa tulusnya dan menghibur kita karena amal perbuatan kita selama di dunia mendidik mereka sehingga menjadi isteri/suami dan anak-anak yang saleh dan salehah.  
    Artinya, dalam rangka meraih kecintaan keluarga (isteri ke2), kita tetap harus memerhatikan amal perbuatan (isteri pertama) kita. Sikap, tindakan dan tingkah laku kita adalah sikap, tindakan dan tingkah laku yang baik, benar dan diridloi Allah SWT. Bukan sebaliknya.
  1. Isteri ketiga adalah harta benda kita.
    Harta benda memang diperlukan dalam hidup. Tapi dalam usaha memeroleh harta benda tersebut, kita tidak boleh memakai prinsip : yang penting dapat!, tanpa memerhatikan cara memerolehnya (baca : amal perbuatan/isteri pertama). Ada usaha yang halal dan ada yang haram. Kalau kita memerhatikan rambu-rambu tersebut, berarti kita tidak menyia-nyiakan isteri pertama. Pertanyaan untuk harta benda selalu dari mana atau dengan cara bagaimana memeroleh dan untuk apa dibelanjakan.
    Sayangnya kita sering terbuai oleh godaan harta benda, sehingga lupa bagaimana cara memerolehnya. Harta benda tampak begitu cantik, bak isteri ketiga kita, yang memanggil-manggil dengan suara mesra untuk segera diraih. Akhirnya, tanpa disadari, tapi lama kelamaan justru dengan penuh kesadaran kita terjerembab dalam kesibukan meraih sebanyak-banyak harta benda tanpa peduli lagi pada rambu-rambu. Tidak ingat lagi pada isteri pertama : amal perbuatan, sikap, dan tingkah laku kita sudah tidak cantik lagi, buruk…bahkan mengerikan! Padahal ketika kita mati, harta benda (isteri ketiga) ini akan jadi rebutan para ahli waris….ia tak sudi menemani kita di alam kubur, yang mau menemani di kuburan (bukan alam kubur) hanya harta yang berupa 3 lapis kain mori putih.
    Kecuali jika harta benda yang kita miliki itu kita peroleh dengan cara yang baik dan dibelanjakan di jalan yang diridloi Allah SWT, insya Allah menjadi amal jariyah yang pahalanya terus menemani kita ke alam kubur, bahkan sampai ke syurga. 
  1. Isteri keempat adalah pangkat/jabatan/status sosial kita.
    Inilah isteri termuda dan tercantik, paling dibanggakan dan selalu dituruti apa maunya. Kita sering mengorbankan apa saja, jangankan hanya isteri pertama, harga diri, muru’ah dan martabat kehormatan kita sebagai manusia juga tidak apa dilego demi isteri keempat ini. Jilat sana sembah sini, asal pangkat/jabatan/status sosial kita dapatkan. Kekuasaan, itulah intinya! Kalau yang kita pegang kekuasaan, maka apapun bisa kita dapatkan, sebanding dengan apa yang kita korbankan.
    Tak banyak beda dengan isteri ketiga, ia pasti menolak mentah-mentah untuk menemani kita ke alam kubur, karena kalau kita mati, masih banyak yang mengantri untuk menyuntingnya.  Tentu, jika kita peroleh kekuasaan itu dengan cara yang benar dan kita gunakan dengan benar dan dalam kebenaran, kharismanya  akan tetap melekat, meskipun kita sudah mati. Jasa dan situs-situsnya menjadi amal jariyah yang pahalanya menemani kita di alam kubur, bahkan sampai ke syurga. Kuburan kita akan penuh dengan para peziarah yang memohon berkah.
Demikian kisah antara kita dengan keempat isteri kita, baik dengan isteri dalam arti yang sebenarnya maupun dalam pengertian metaforis. Perlakuan kita hampir sama terhadap keempat-empatnya. Semoga kita mampu memetik hikmahnya. Salam. (Ikhsanuddin Azeth).

Selasa, 28 Juni 2011

negara agraris yang bersektor pajak


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar belakang
Negara agraris adalah negara yang sebagian besar penduduknya mempunyai mata pencaharian sebagai petani. Mata pencaharian utama masyarakat Indonesia pada umumnya adalah petani. Berbagai hasil pertanian diunggulkan sebagai tulang punggung perekonomian Indonesia. Para petani pun mendapat posisi yang mulia dengan berbagai pandangan, bantuan dan dukungan baginya.
Indonesia dikenal sebagai Negara Agraris. Sebagian besar lahan di Indonesia dipenuhi dengan tanaman pertanian. Namun identitas tersebut kini mulai luntur, hal tersebut diakibatkan generasi muda berkualitas zaman sekarang mulai enggan untuk mengelola lahan pertanian yang membuat pada akhirnya lahan pertanian tersebut direlokasi sebagai bangunan perumahan, kawasan industri dan mall-mall megah. Padahal jika generasi muda ingin dan mau meneruskan mengelola pertanian tersebut, mungkin masalah kelaparan dan kemiskinan di negara ini akan terhapuskan bahkan Indonesia bisa menjadi negara eksportir hasil pertanian, namun kini apa yang terjadi banyak masyarakat Indonesia yang menjadi korban kemiskinan, kelaparan, busung lapar, bahkan gizi buruk. Hal ini tentu ironis sekali dimana sebuah negara yang memiliki potensi besar dalam bidang pertanian mengalami kasus kelaparan bahkan gizi buruk. Itu semua tentu jelas diakibatkan karena kurangnya minat para generasi muda yang berkualitas terhadap pengelolaan pertanian.
Sedangkan Pajak adalah gejala masyarakat, artinya bahwa pajak hanya terdapat dalam masyarakat. Jika tidak ada masyarakat tidak ada pajak. Pernyataan seperti sangat tepat sekali, karena pajak digunakan untuk membiayai kepentingan umum yang akhirnya juga mencakup kepentingan pribadi individu seperti kepentingan rakyat, pendidikan, kesejahteraan rakyat, kemakmuran rakyat dan sebagainya. Sehingga pajak merupakan salah satu alat untuk mencapai tujuan negara sebagaimana yang diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945 pada alinea keempat yang diantaranya berbunyi: ”... melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia serta untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia...” Selanjutnya untuk mencapai tujuan negara tersebut dilakukan pemungutan pajak yang dilakukan oleh pemerintah. Dalam hukum positif Indonesia yang menjadi landasan hukum pemungutan pajak adalah Pasal 23A UUD 1945 setelah amandemen keempat yang berbunyi: ”Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang.” Dan agar ada kepastian dalam proses pengumpulannya dan berjalannya pembangunan secara berkesinambungan, maka sifat pemaksaannya harus ada dan rakyat itu sendiri telah menyetujuinya dalam bentuk undang-undang. Sebaliknya bila ada pungutan yang namanya pajak namun tidak berdasarkan undang-undang, maka pungutan tersebut bukanlah pajak tetapi lebih tepat disebut sebagai perampokan. Pungutan pajak yang dilakukan oleh pemerintah merupakan sumber terpenting dari segi penerimaan negara. Lagipula penerimaan negara dari pajak dapat dijadikan indikator atas peran serta masyarakat (sebagai subjek pajak) dalam kontribusinya melakukan kewajiban perpajakan, karena pembayaran pajak yang dilakukan akan dikembalikan lagi kepada masyarakat dalam bentuk tidak langsung, yaitu berupa pengeluaran rutin dan pembangunan yang bermanfaat bagi rakyat (tidak hanya rakyat yang membayar pajak, tetapi juga kepada rakyat yang tidak membayar paj ak). Sebagaimana diketahui bahwa dalam Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN) yang dibuat oleh pemerintah terdapat tiga sumber penerimaanyang menjadi pokok andalan, yaitu:
1.  Penerimaan dari sektor pajak, diantaranya meliputi Pajak Penghasilan (PPh) migas dan non migas, Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan pajak lainnya
2. Penerimaan dari sektor migas yang berasal dari sumber daya alam dan
3.Penerimaan dari sektor bukan pajak sebagaimana yang diatur dalam Undang­undang Nomor 20 Tahun 1997 Tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak 
Penerimaan negara dari pajak selalu meningkat dari tahun ke tahun sesuai dengan perkembangan ekonomi dan perkembangan masyarakat. Sedangkan salah satu sumber penerimaan negara lainnya yaitu dari migas, yang dahulu selalu menjadi andalan penerimaan negara, sekarang ini sudah tidak bisa diharapkan sebagai sumber penerimaan keuangan negara yang terus-menerus karena sifatnya yang tidak dapat diperbaharui (non renewable resources). Penerimaan migas pada suatu waktu akan habis sedangkan dari pajak selalu dapat diperbaharui sesuai dengan perkembangan ekonomi dan masyarakat itu sendiri.


B.   Tujuan  
Tujuan dalam penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas terstruktur mata kuliah hukum pardata dan untuk menambah pengetahuan kita sehingga di harapkan bermanfaat bagi kita semua
















BAB II
Perumusan masalah

Dahulu negara Indonesia disebut negara agraris, tapi sekarang apa masih bisa dikatakan sebagai negara agraris? Sekarang posisi petani semakin tercekik. Pupuk, bibit unggul, pestisida, dan bahan pertanian lainnya kini harganya melambung tinggi sedangkan sebagian besar sumber daya alam indonesia telah di kuasai oleh pihak asing. Belum lagi dampak pemanasan global yang menyebabkan musim menjadi tidak menentu. Petani bingung menetapkan musim tanamnya. Produksi makanan pokok menjadi berkurang. Ujung-ujungnya pemerintah akan mengimpor bahan bahan pokok tersebut dari luar negeri. Petani menjadi terdesak lagi sehingga saat ini negara indonesia sangat menggantungkan perekonomianya pada sektor pajak dan yang tidak kita sadari bahwa kita telah bertamu di negara sendiri, oleh karena itu dapatkah negara indonesia memanfaatkan SDA yang terkandung di dalamnya untuk membiayai kesejahteraan rakyatnya tanpa bergantung pada sektor pajak?





BAB III
Pembahasan

Negara pada dasarnya akan mampu membiayai dirinya dalam rangka mensejahterakan rakyatnya. Dengan demikian, dalam keadaan normal, pajak sesungguhnya tidak diperlukan. Seharusnya di negara ini, pajak hanya dipungut sewaktu-waktu, yaitu saat kas negara benar-benar defisit. Itu pun hanya dipungut dari orang-orang yang kaya saja, tidak berlaku secara umum atas seluruh warga negara. Dalam hal ini, negara tidak akan pernah memungut pajak secara rutin, apalagi menjadikannya sumber utama penerimaan negara.
Hal ini tentu mudah dipahami karena begitu melimpahnya penerimaan negara. Sekadar contoh jika sumberdaya alam (SDA) yang melimpah-ruah di negeri ini dikelola Pemerintah secara syariah, tentu hasilnya lebih dari cukup untuk mensejahterakan rakyat. Sayang, pengolaan SDA oleh Pemerintah menggunakan cara-cara kapitalis, antara lain dengan menyerahkan kepemilikannya (bukan sekadar pengelolaannya) kepada pihak lain melalui mekanisme Penanaman Modal Asing (PMA) dan privatisasi (penjualan kepada swasta/asing). Ini jelas bertentangan dengan pandangan syariah Islam yang menyatakan bahwa SDA yang jumlahnya tak terbatas termasuk milik umum. Hal ini berdasarkan hukum yang digali dari hadis Rasulullah saw.:
الْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِي ثَلاَثٍ: فِي الْكَلإَِ وَالْمَاءِ وَالنَّارِ
Manusia bersekutu (memiliki hak yang sama) dalam tiga hal: hutan, air dan energi (HR Abu Dawud dan Ibn Majah).
Akibat SDA di negeri ini banyak dikuasai swasta atau asing, hasilnya sebagian besar tentu hanya dinikmati oleh mereka. Pemerintah hanya memperoleh sedikit royalti plus deviden dan pajaknya yang tentu jumlahnya sangat kecil. Di sektor tambang seperti emas, misalnya, penerimaan Pemerintah dari pembayaran pajak PT Freeport yang menguasai tambang emas di Bumi Papua pada tahun 2009 hanya Rp 13 triliun, plus royalti hanya US$ 128 juta dan dividen sebesar US$ 213 juta. Padahal PT Freeport Indonesia (PTFI) sendiri meraup laba bersih pada 2009 sebesar US$ 2,33 miliar atau setara dengan Rp 22,1 triliun (Inilah.com, 2/12/2009). Itu pun yang dilaporkan secara resmi. Sebab, pada dasarnya kita tidak tahu berapa persis hasil dari emas Papua itu.
Di sektor migas, penerimaan negara juga kecil. Tahun 2010 ini penerimaan migas hanya ditargetkan sekitar Rp 120,5 triliun. Itu tentu hanya sebagian kecilnya. Yang mendapatkan porsi terbesar adalah pihak asing. Pasalnya, menurut Hendri Saparani, PhD, 90% kekayaan migas negeri ini memang sudah berada dalam cengkeraman pihak asing.
Tentu, itu belum termasuk hasil-hasil dari kekayaan barang tambang yang lain (batubara, perak, tembaga, nikel, besi, dll) yang juga melimpah-ruah. Sayang, dalam tahun 2010 ini, misalnya, Pemerintah hanya menargetkan penerimaan sebesar Rp 8,2 triliun dari pertambangan umum. Lagi-lagi, porsi terbesar pastinya dinikmati oleh perusahaan-perusahaan asing yang juga banyak menguasai pertambangan di negeri ini. Belum lagi jika negara memperhitungkan hasil laut, hasil hutan dan sebagainya yang selama ini belum tergarap secara optimal.
Karena itu, negeri ini sesungguhnya tidak memerlukan pajak untuk membiayai dirinya. Sebab, dari hasil-hasil SDA saja (jika sepenuhnya dimiliki/dikuasai negara), kas negara akan lebih dari cukup untuk mensejahterakan rakyatnya. Indonesia sebenarnya bisa menjadi negara agraris terkaya di dunia tanpa tergantung pada sektor pajak. Karena sesungguhnya indonesia telah memenuhi syarat sebagai negara besar dan kaya, serta memiliki potensi alam yang luar biasa, baik hasil hutan, hasil tambang, maupun hasil laut.
Tapi penduduk Indonesia tidak menikmati hasil kekayaannya, justru menanggung beban hutang negara yang sangat besar. Ini karena Indonesia selalu dibohongi oleh negara-negara maju, kebohongan tersebut antara lain Indonesia menjual produknya ke negara maju dengan sangat murah, sebaliknya negara maju menjual produknya ke Indonesia sangat mahal. Negara maju juga memberikan bantuan pinjaman yang menjadikan negara Indonesia tergantung dan bisa dikendalikan. "Saat ini hutang luar negeri Indonesia sudah lebih dari seratus miliar dolar AS. Jumlah ini sangat memalukan bagi negara kaya seperti Indonesia
Demikian juga pada kekayaan laut, kata dia, Indonesia yang memiliki wilayah laut sangat luas, kekayaannya luar biasa. Tapi, pemerintah Indonesia membiarkan hasil kekayaan lautnya dicuri oleh negara-negara maju dengan kompensasi dana yang nilainya sangat kecil.
Kebohongan lainnya, yaitu negara-negara di dunia telah sepakat bahwa negara yang menjadi paru-paru dunia, seperti Indonesia, akan dibayar oleh negara-negara lain yang menikmati oksigen dari negara tersebut, sebesar empat dolar AS per meter persegi. "Dengan luas daratan Indonesia sekitar 62 juta hektar, seharusnya Indonesia menerima dana kompensasi sekitar 620 miliar dolar AS per tahun. Tapi kenyataannya, penduduk Indonesia tidak menikmatinya. Kondisi Indonesia yang kaya tapi penduduknya miskin, karena pemerintahnya tidak peduli dan tak membangun untuk rakyatnya. Jika pemerintah peduli dan mau berjuang untuk rakyatnya, maka Indonesia bisa menjadi negara agraris terkaya di dunia.
















BAB IV
Kesimpulan

Indonesia sebenarnya bisa menjadi negara agraris terkaya di dunia tanpa tergantung pada sektor pajak. Karena sesungguhnya indonesia telah memenuhi syarat sebagai negara besar dan kaya, serta memiliki potensi alam yang luar biasa, baik hasil hutan, hasil tambang, maupun hasil laut. Negeri ini sesungguhnya tidak memerlukan pajak untuk membiayai dirinya. Sebab, dari hasil-hasil SDA saja (jika sepenuhnya dimiliki/dikuasai negara), kas negara akan lebih dari cukup untuk mensejahterakan rakyatnya akan tetapi pemerintah seakan akan tidak peduli dan tak membangun untuk rakyatnya. Akan tetapi penduduk Indonesia tidak menikmati hasil kekayaannya, justru malah  menanggung beban hutang negara yang sangat besar. Ini karena Indonesia selalu dibohongi oleh negara-negara maju








DAFTAR PUSTAKA

hizbut-tahrir.or.id/.../tanpa-pajak-negara-bisa-mensejahterakan-rakyat/
www.lawskripsi.com
sofian-sukajadi.blogspot.com
kumpulan-artikel-menarik.blogspot.com












TUGAS TERSTRUKTUR HUKUM PAJAK
NEGARA AGRARIS YANG BERALIH FUNGSI KE SEKTOR PAJAK

# Logo UMP Standar









Penyusun :
Dinta Fikrun Najib Afif Al Ikromy
(0910010014)


Fakultas Hukum
Universitas Muhammadiyah Purwokerto
2010

kasus malpraktek


Kasus Malpraktek dalam bidang Orthopedy
Gas Medik yang Tertukar

# Logo UMP Standar









Di susun oleh :
Dinta Fikrun Najib Afif Al Ikromy
(0910010014)


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO
2011
BAB I
Pendahuluan
A.      Latar Belakang
Meningkatnya kesadaran masyarakat akan hak-haknya merupakan salah satu indikator positif meningkatnya kesadaran hukum dalam masyarakat. Sisi negatifnya adalah adanya kecenderungan meningkatnya kasus tenaga kesehatan ataupun rumah sakit di somasi, diadukan atau bahkan dituntut pasien yang akibatnya seringkali membekas bahkan mencekam para tenaga kesehatan yang pada gilirannya akan mempengaruhi proses pelayanan kesehatan tenaga kesehatan dibelakang hari. Secara psikologis hal ini patut dipahami mengingat berabad-abad tenaga kesehatan telah menikmati kebebasan otonomi paternalistik yang asimitris kedudukannya dan secara tiba-tiba didudukkan dalam kesejajaran. Masalahnya tidak setiap upaya pelayanan kesehatan hasilnya selalu memuaskan semua pihak terutama pasien, yang pada gilirannya dengan mudah menimpakan beban kepada pasien bahwa telah terjadi malpraktek.
Dari definisi malpraktek “adalah kelalaian dari seseorang dokter atau perawat untuk mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam mengobati dan merawat pasien, yang lazim dipergunakan terhadap pasien atau orang yang terluka menurut ukuran dilingkungan yang sama”. (Valentin v. La Society de Bienfaisance Mutuelle de Los Angelos, California, 1956). Dari definisi tersebut malpraktek harus dibuktikan bahwa apakah benar telah terjadi kelalaian tenaga kesehatan dalam menerapkan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang ukurannya adalah lazim dipergunakan diwilayah tersebut. Andaikata akibat yang tidak diinginkan tersebut terjadi apakah bukan merupakan resiko yang melekat terhadap suatu tindakan medis tersebut (risk of treatment) karena perikatan dalam transaksi teraputik antara tenagakesehatan dengan pasien adalah perikatan/perjanjian jenis daya upaya (inspaning verbintenis) dan bukan perjanjian/perjanjian akan hasil (resultaa verbintenis).
Apabila tenaga-tenaga kesehatan didakwa telah melakukan kesalahan profesi, hal ini bukanlah merupakan hal yang mudah bagi siapa saja yang tidak memahami profesi kesehatan dalam membuktikan ada dan tidaknya kesalahan.
Dalam hal tenaga kesehatan didakwa telah melakukan ciminal malpractice, harus dibuktikan apakah perbuatan tenaga kesehatan tersebut telah memenuhi unsur tidak pidanya yakni :
a.      Apakah perbuatan (positif act atau negatif act) merupakan perbuatan yang tercela
b.      Apakah perbuatan tersebut dilakukan dengan sikap batin (mens rea) yang salah (sengaja, ceroboh atau adanya kealpaan). Selanjutnya apabila tenaga perawatan dituduh telah melakukan kealpaan sehingga mengakibatkan pasien meninggal dunia, menderita luka, maka yang harus dibuktikan adalah adanya unsur perbuatan tercela (salah) yang dilakukan dengan sikap batin berupa alpa atau kurang hati-hati ataupun kurang praduga.
B.             Tujuan
Tujuan dalam penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas terstruktur mata kuliah kesehatan  dan untuk mengetahui bagaimana penyelesaian kasus malpraktek di Indonesia serta untuk menambah pengetahuan kita sehingga di harapkan bermanfaat bagi kita semua.
















BAB II
Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah bagaimana contoh kasus malpraktek di bidang orthopedi di tinjau dari sudut pandang hukum serta sudut pandang agama.


















BAB III
Pembahasan
1.      Contoh kasus malpraktek dalam bidang orthopedi
Seorang pasien menjalani suatu pembedahan di sebuah kamar operasi. Sebagaimana layaknya, sebelum pembedahan dilakukan anastesi terlebi dahulu. Pembiusan dilakukan oleh dokter anastesi, sedangkan operasi dipimpin oleh dokter ahli bedah tulang (orthopedy).
Operasi berjalan lancar. Namun, tiba-tiba sang pasien mengalami kesulitan bernafas. Bahkan setelah operasi selesai dilakukan, pasien tetap mengalami gangguan pernapasan hingga tak sadarkan diri. Akibatnya, ia harus dirawat terus menerus di perawatan intensif dengan bantuan mesin pernapasan (ventilator). Tentu kejadian ini sangat mengherankan. Pasalnya, sebelum dilakukan operasi, pasien dalam keadaan baik, kecuali masalah tulangnnya.
Akan tetapi, ternyata kedapatan bahwa ada kekeliruan dalam pemasangan gas anastesi (N2O) yang dipasng pada mesin anastesi. Harusnya gas N2O, ternyata yang diberikan gas CO2. Padahal gas CO2 dipakai untuk operasi katarak. Pemberian CO2 pada pasien tentu mengakibatkan tertekannya pusat-pusat pernapasan sehingga proses oksigenasi menjadi sangat terganggu, pasien jadi tidak sadar dan akhirnya meninggal. Ini sebuah fakta penyimpangan sederhana namun berakibat fatal.
Dengan kata lain ada sebuah kegagalan dalam proses penetapan gas anastesi. Dan ternyata, di rumah sakit tersebut tidak ada standar-standar pengamanan pemakaian gas yang dipasang di mesin anastesi. Padahal seeharusnya ada standar, siapa yang harus memasang, bagaimana caranya, bagaimana monitoringnnya, dan lain sebagainya. Idealnya dan sudah menjadi keharusan bahwa perlu ada sebuah standar yang tertulis (misalnya warna tabung gas yang berbeda), jelas, dengan formulir yang memuat berbagai prosedur tiap kali harus ditandai dan ditandatangani. Seandainya prosedur ini ada, tentu tidak akan ada, atau kecil kemungkinan terjadi kekeliruan. Dan kalaupun terjadi akan cepat diketahui siapa yang bertanggungjawab.
2.      Tinjauan Kasus
Ditinjau dari Sudut Pandang Hukum
·         Sangsi hukum
Jika perbuatan malpraktik yang dilakukan dokter terbukti dilakukan dengan unsur kesengajaan (dolus) dan ataupun kelalaian (culpa)seperti dalam kasus malpraktek dalam bidang orthopedy yang kami ambil, maka adalah hal yang sangat pantas jika dokter yang bersangkutan dikenakan sanksi pidana karena dengan unsur kesengajaan ataupun kelalaian telah melakukan perbuatan melawan hukum yaitu menghilangkan nyawa seseorang. Perbuatan tersebut telah nyata-nyata mencoreng kehormatan dokter sebagai suatu profesi yang mulia.
Pekerjaan profesi bagi setiap kalangan terutama dokter tampaknya harus sangat berhati-hati untuk mengambil tindakan dan keputusan dalam menjalankan tugas-tugasnya karena sebagaimana yang telah diuraikan di atas. Tuduhan malpraktik bukan hanya ditujukan terhadap tindakan kesengajaan (dolus) saja.Tetapi juga akibat kelalaian (culpa) dalam menggunakan keahlian, sehingga mengakibatkan kerugian, mencelakakan, atau bahkan hilangnya nyawa orang lain. Selanjutnya, jika kelalaian dokter tersebut terbukti merupakan tindakan medik yang tidak memenuhi SOP yang lazim dipakai, melanggar Undang-undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, maka dokter tersebut dapat terjerat tuduhan malpraktik dengan sanksi pidana.
Dalam Kitab-Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) kelalaian yang mengakibatkan celaka atau bahkan hilangnya nyawa orang lain. Pasal 359, misalnya menyebutkan, “Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun”. Sedangkan kelalaian yang mengakibatkan terancamnya keselamatan jiwa seseorang dapat diancam dengan sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 360 Kitab-Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), (1) ‘Barang siapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain mendapat luka-luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun’. (2) Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain luka-luka sedemikian rupa sehingga timbul penyakit atau halangan menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharian selama waktu tertentu, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau kurungan paling lama enam bulan atau denda paling tinggi tiga ratus rupiah.
Pemberatan sanksi pidana juga dapat diberikan terhadap dokter yang terbukti melakukan malpraktik, sebagaimana Pasal 361 Kitab-Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), “Jika kejahatan yang diterangkan dalam bab ini dilakukan dalam menjalankan suatu jabatan atau pencarian, maka pidana ditambah dengan sepertiga dan yang bersalah dapat dicabut hak untuk menjalankan pencarian dalam mana dilakukan kejahatan dan hakim dapat memerintahkan supaya putusannya diumumkan.” Namun, apabila kelalaian dokter tersebut terbukti merupakan malpraktik yang mengakibatkan terancamnya keselamatan jiwa dan atau hilangnya nyawa orang lain maka pencabutan hak menjalankan pencaharian (pencabutan izin praktik) dapat dilakukan.
Berdasarkan Pasal 361 Kitab-Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Tindakan malpraktik juga dapat berimplikasi pada gugatan perdata oleh seseorang (pasien) terhadap dokter yang dengan sengaja (dolus) telah menimbulkan kerugian kepada pihak korban, sehingga mewajibkan pihak yang menimbulkan kerugian (dokter) untuk mengganti kerugian yang dialami kepada korban, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1365 Kitab-Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian pada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.” Sedangkan kerugian yang diakibatkan oleh kelalaian (culpa) diatur oleh Pasal 1366 yang berbunyi: “Setiap orang bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan kelalaian atau kurang hati-hatinya.”
·         Kepastian hukum
Melihat berbagai sanksi pidana dan tuntutan perdata yang tersebut di atas dapat dipastikan bahwa bukan hanya pasien yang akan dibayangi ketakutan. Tetapi, juga para dokter akan dibayangi kecemasan diseret ke pengadilan karena telah melakukan malpraktik dan bahkan juga tidak tertutup kemungkinan hilangnya profesi pencaharian akibat dicabutnya izin praktik. Dalam situasi seperti ini azas kepastian hukum sangatlah penting untuk dikedepankan dalam kasus malpraktik demi terciptanya supremasi hukum.
Apalagi, azas kepastian hukum merupakan hak setiap warga negara untuk diperlakukan sama di depan hukum (equality before the law) dengan azas praduga tak bersalah (presumptions of innocence) sehingga jaminan kepastian hukum dapat terlaksana dengan baik dengan tanpa memihak-mihak siapa pun. Hubungan kausalitas (sebab-akibat) yang dapat dikategorikan seorang dokter telah melakukan malpraktik, apabila (1) Bahwa dalam melaksanakan kewajiban tersebut, dokter telah melanggar standar pelayanan medik yang lazim dipakai.  (2) Pelanggaran terhadap standar pelayanan medik yang dilakukan merupakan pelanggaran terhadap Kode Etik Kedokteran Indonesia (Kodeki). (3) Melanggar UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. Ditinjau dari Sudut Pandang Etika (Kode Etik Kedokteran Indonesia /KODEKI).
Etika punya arti yang berbeda-beda jika dilihat dari sudut pandang pengguna yang berbeda dari istilah itu. Bagi ahli falsafah, etika adalah ilmu atau kajian formal tentang moralitas. Moralitas adalah hal-hal yang menyangkut moral, dan moral adalah sitem tentang motifasi, perilaku dan perbuatan manusia yang dianggap baik atau buruk. Franz Magnis Suseno menyebut etika sebagai ilmu yang mencari orientasi bagi usaha manusia untuk menjawab pertanyaan yang amat fundamental: bagaimana saya harus hidup dan bertindak?. Bagi seorang sosiolog, etika adalah adat, kebiasaan dan perilaku orang-orang dari lingkungan budaya tertentu. Bagi praktisi professional termasuk dokter dan tenaga kesehatan lainnya, etika berarti kewajiban dan tanggungjawab memenuhi harapan profesi dan masyarakat, serta bertindak dengan cara-cara yang professional, etika adalah salah satu kaidah yang menjaga terjadinya interaksi antara pemberi dan penerima jasa profesi secara wajar, jujur, adil, professional dan terhormat.
Dalam KODEKI pasal 2 dijelaskan bahwa; “ seorang dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan profesinya sesuai denga standar profesi tertinggi”. Jelasnya bahwa seeorang dokter dalam melakukan kegiatan kedokterannya seebagai seorang proesional harus sesuai dengan ilmu kedokteran mutakhir, hokum dan agama. KODEKI pasal 7d juga menjelaskan bahwa “setiap dokter hrus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup insani”. Arinya dalam setiap tindakan dokter harus betujuan untuk memelihara kesehatan dan kebahagiaan manusia.
Peran pengawasan terhadap pelanggaran kode etik (KODEKI) sangatlah perlu ditingkatkan untuk menghindari terjadinya pelanggaran-pelanggaran yang mungkin sering terjadi yang dilakukan oleh setiap kalangan profesi-profesi lainnya seperti halnya advokat/pengacara, notaris, akuntan, dll. Pengawasan biasanya dilakukan oleh lembaga yang berwenang untuk memeriksa dan memutus sanksi terhadap kasus tersebut seperti Majelis Kode Etik. Dalam hal ini Majelis Kode Etik Kedokteran (MKEK). Jika ternyata terbukti melanggar kode etik maka dokter yang bersangkutan akan dikenakan sanksi sebagaimana yang diatur dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia. Karena itu seperti kasus yang ditampilkan maka juga harus dikenakan sanksi sebagaimana yang diatur dalam kode etik.
Namun, jika kesalahan tersebut ternyata tidak sekedar pelanggaran kode etik tetapi juga dapat dikategorikan malpraktik maka MKEK tidak diberikan kewenangan oleh undang-undang untuk memeriksa dan memutus kasus tersebut. Lembaga yang berwenang memeriksa dan memutus kasus pelanggaran hukum hanyalah lembaga yudikatif. Dalam hal ini lembaga peradilan.
Jika ternyata terbukti melanggar hukum maka dokter yang bersangkutan dapat dimintakan pertanggungjawabannya. Baik secara pidana maupun perdata. Sudah saatnya pihak berwenang mengambil sikap proaktif dalam menyikapi fenomena maraknya gugatan malpraktik. Dengan demikian kepastian hukum dan keadilan dapat tercipta bagi masyarakat umum dan komunitas profesi. Dengan adanya kepastian hukum dan keadilan pada penyelesaian kasus malpraktik ini maka diharapkan agar para dokter tidak lagi menghindar dari tanggung jawab hukum profesinya.

Ditinjau dari Sudut Pandang Agama
Adapun agama-agama memandang malpraktek, khususnya yang menyebabkan kematian atau bisa pasien kehilangan nyawanya. Diantaranya dapat dilihat bagaimana secara garis besar agama Islam dan Khatolik memandang malpraktek.
·         Menurut pandangan Islam
Dikatakan bahwa jatah hidup itu merupakan ketentuan yang menjadi hak prerogatif Tuhan, biasanya disebut juga haqqullâh (hak Tuhan), bukan hak manusia (haqqul âdam). Artinya, meskipun secara lahiriah atau tampak jelas bahwa saya menguasai diri saya sendiri, tapi saya sebenarnya bukan pemilik penuh atas diri saya sendiri. Untuk itu, saya harus juga tunduk pada aturan-aturan tertentu yang kita imani sebagai aturan Tuhan. Atau, meskipun saya memiliki diri saya sendiri, tetapi saya tetap tidak boleh membunuh diri. Dari sini dapat kita katakana bahwa, sebagai individu saja kita tidak berhak atas diri atau kehidupan yang kita miliki, apalagi kehidupan orang lain. Karena itu maka setiap tindakan yang oada akhirnya menghilangkan hidup atau nyawa seseorang bisa dianggap sebagai satu tindakan yang melanggar hak prerogatif Tuhan. Dengan demikian segala macam tindakan malpraktek adalah suatu pelanggaran.
Undang-undang Praktik Kedokteran diharapkan menjadi wahana yang dapat membawa kita ke arah tersebut, sepanjang penerapannya dilakukan dengan benar. Standar pendidikan ditetapkan guna mencapai standar kompetensi, kemudian dilakukan registrasi secara nasional dan pemberian lisensi bagi mereka yang akan berpraktek. Konsil harus berani dan tegas dalam melaksanakan peraturan, sehingga akuntabilitas progesi kedokteran benar-benar dapat ditegakkan. Standar perilaku harus ditetapkan sebagai suatu aturan yang lebih konkrit dan dapat ditegakkan daripada sekedar kode etik. Demikian pula standar pelayanan harus diterbitkan untuk mengatur hal-hal pokok dalam praktek, sedangkan ketentuan rinci agar diatur dalam pedoman-pedoman. Keseluruhannya akan memberikan rambu-rambu bagi praktek kedokteran, menjadi aturan disiplin profesi kedokteran, yang harus diterapkan, dipantau dan ditegakkan oleh Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI). Profesional yang “kotor” dibersihkan dan mereka yang “busuk” dibuang dari masyarakat profesi.
Ketentuan yang mendukung good clinical governance harus dibuat dan ditegakkan. Dalam hal ini peran rmah sakit sangat diperlukan. Rumah sakit harus mampu mencegah praktek kedokteran tanpa kewenangan atau di luar kewenangan, mampu “memaksa” para profesional bekerja sesuai dengan standar profesinya, serta mampu memberikan “suasana” dan budaya yang kondusif bagi suburnya praktek kedokteran yang berdasarkan bukti hokum dank ode etik yang berlaku.














BAB IV
Kesimpulan
Dari uraian diatas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa :
Malprktek dalam bidang orthopedy adalah suatu tindakan kelalaian yang dilakukan oleh dokter atau petugas pelayanan kesehatan yang bertugas melakukan segala macam tindakan pembedahan khususnya pembedahan pada tulang. Dimana dalam kasus ini si pasien yang pada awalnya hanya mengalami masalah pada tulangnya pada akhirnya harus menghembuskan nafasnya untuk terakhir kalinya hanya karena kesalahan pemberian gas setelah operasi. Kelalaian fatal ini bisa dikatakan terjadi karena kurangnya ketelitian dari dokter ataupun petugas kesehatan lainnya dalam pemberian pelayanan kesehatan terhadap pasien.
Kelalaian ini juga bisa disebabkan karena manejemen rumah sakit yang kurang tertata baik, pendidikan yang dimiliki petugas yang mungkin masih minim serta banyak lagi faktor yang lainnya. Karena tindakan tersebut tidak hanya melangar hukum, kode etik kedokteran dan juga standar berperilaku dalam suatu agama tetapi bahkan sampai menghilangkan nyawa seseorang maka perlu ada jalan keluarnya yakni dengan cara: pembenahan majemen rumah sakit, meningkatkan ketelitian dalam menjalankan profesi kedokteran serta memperdalam segala macam pengetahuan tentang berbagai macam tindakan pelayanan kesehatan.







DAFTAR PUSTAKA

agungrakhmawan.wordpress.com/.../malpraktek-dalam-pelayanan-kesehatan/
waspadamedan.com/index.php
hukum.kompasiana.com/