Rabu, 29 Juni 2011

Amal sebagai isteri yang setia


Seorang laki-laki yang mempunyai empat orang isteri suatu hari merasa telah sampai di ujung ajal, setelah sekian lama menderita penyakit kronis. Bayangan malaikat maut sudah ia rasakaan dekat menjemput, maka ia segera panggil empat orang isterinya satu persatu. Yang pertama ia panggil tentu isterinya yang termuda, yang paling cantik dan paling ia cintai. Setelah sang isteri tersebut ada di depannya, ia pun berkata : “Isteriku sayang, sepertinya sakit aa sudah di puncaknya dan aa merasa akan segera dipanggil Yang Maha Kuasa, oleh karena itu aa ada satu permintaan, satu saja, tolong jangan ditolak, selama ini aa sudah melakukan apa saja untukmu sayang, apa pun permintaanmu sudah aku penuhi, kini di ujung hidup aa,  hanya ada satu permintaan, “ suaranya terdengar putus-putus karena nafasnya makin terasa sesak.
Dalam hatinya membuncah harapan besar kiranya isteri tercintanya tersebut tidak menolak permintaannya. “permintaan apa kakanda sayang?” tanya isterinya. “jika malaikat maut mencabut nyawa aa, maukah engkau menemaniku ke alam kubur, agar aku tidak  kesepian, aku tidak ingin berpisah denganmu sayang, bukankah dulu kita berjanji sehidup semati?” katanya dengan penuh harap. “apa?” jawab isterinya sambil membelalak matanya seperti mau copot. “aku suruh menemanimu mati?.....no no no....tidak mau, aku tidak mau...aku masih muda, masih cantik, pasti masih banyak yang mau denganku”  setelah mengatakan itu ia pun segera berlalu dari hadapan suaminya. Betapa kecewa dan sakit hati laki-laki itu, perempuan yang selama ini begitu ia cintai, mengalahkan cintanya pada isteri-isterinya yang lain, segala permintaannya telah ia turuti, tapi kini giliran ia meminta satu permintaan saja, yang permintaan itupun merupakan janji ketika pertama kali bertemu kemudian menikah untuk sehidup semati, nyatanya kini hanya tinggal kenangan hitam yang menyakitkan, janjinya ternyata hanya secuil kapas yang sangat enteng ketika diterbangkan angin.
 Lalu ia panggil isterinya yang ke 3. Barangkali isteri ketiganya mau menemaninya di alam kubur, jika ia ingat saat perjuangannya untuk dapat menyunting wanita idamannya tersebut, ia jadi senyum sendiri, betapa tak kenal lelah melobi, merayu dan bahkan tak segan menjual harga dirinya, manjatuhkan teman dan saudaranya demi menonjolkan kebaikan dirinya, tentu agar  dialah yang dipilih oleh wanita pujaannya itu. Ketika isteri ke 3nya telah hadir di depannya, iapun merintih minta kesediaan isteri ke3nya itu untuk menemaninya di alam kubur jika ia meninggal nanti. Namun apa jawab isteri ke3nya? Tidak jauh beda dengan isteri ke4, ia menolak dengan alasan masih banyak orang yang mau menggilirnya jika suaminya meninggal dunia. Lagi-lagi kecewalah sang lelaki yang pernah perkasa itu. Dadanya tampak berguncang-guncang karena nafasnya seolah sudah mau berhenti. Ketika isterinya berlalu dari hadapannya, ia masih sempat mengumpat : “dasar isteri tak tahu balas budi, tahu akan begini, dulu aku tak sudi besusah-susah mengejarmu hingga sampai jual harga diri.”
      Harapan tersemat pada isteri keduanya, barangkali isteri keduanya ini mau mengerti, karena meskipun ia merasa terkhianati, pasti masih ada sedikit rasa iba melihat suaminya terkapar tak berdaya.  Tapi ternyata tidak memuaskan juga jawabannya, ia mau menemani tapi hanya untuk beberapa hari saja, tidak bisa selamanya. Isteri keduanya ini paham betul akan cinta dan kasih sayang isteri pertamanya, ia bukan tidak mau, namun merasa bukan orang yang pantas untuk itu, yang pantas adalah isteri pertamanya, cintanya tak pernah pudar meski noda demi noda pengkhianatan dilakukan oleh suaminya, dibantu dan disokong sepenuhnya oleh isteri-isteri berikutnya yang awalnya adalah perselingkuhan, skandal dan pesta pora hawa nafsu.
      Akhirnya, ketika isteri ke4, ke3 dan ke2 telah berlalu, tanpa harus dipanggil, isteri pertamanya datang, ia tahu betul kalau suaminya tidak memiliki niat sama sekali untuk memintanya menemani sampai ke alam kubur. Sang suami pasti malu. Malu karena telah berkhianat pada cintanya. Tapi sang isteri tetap tabah, ikhlas dan tidak merasa dendam. Dengan perlahan namun penuh kemantapan, ia berkata : aanda sayang, ii tahu apa yang aanda gelisahkan saat ini, aa tidak usah khawatir terhadap apa yang akan terjadi, ii siap menemani, mendampingi dan menghibur aa di alam baka ….ii tetap sayang pada aa, meskipun ii sudah diduakan, ditigakan dan bahkan diempatkan….ii tidak pernah marah, ii tetap setia, karena ii yakin kalau ii adalah cinta sejati aa, ii adalah belahan jiwa aa, ii adalah bagian hidup aa yang tidak mungkin dipisahkan……. Oooiii, betapa sejuknya kalimat-kalaimat itu, lelaki itu merasa ada nyawa yang tersambung lagi di tubuhnya yang sudah tak berdaya, nafasnya yang tadinya putus-putus, kini lancar kembali. Sesaat lelaki tua bangka itu merasa hilang keciutannya menghadapi mati, namun tiba-tiba rasa malu dan sesal datang menyergap. Ya, malu karena selama ini ia telah mengkhianati cinta dan kesetiaan isteri pertamanya itu. Tampaknya kesadarannya baru muncul, bahwa isteri pertama adalah cinta pertama yang sebenarnya, cinta dalam arti yang sebenarnya. Sedangkan isteri kedua, ketiga dan keempat hanya cinta semu yang diliputi nafsu. Mereka tidak setia dan tidak kekal. Cinta mereka tergantung kepada seberapa besar materi yang diberikan. Duit tipis, cintapun habis, ada uang abang disayang, tiada uang abang ditendang! Ia tengah menikmati betapa sakitnya tendangan demi tendangan dari isteri ke empat, isteri  ketiga dan isteri keduanya.  Kini lelaki itu tengah sampai pada kesadaran yang sempurna tentang itu semua. Namun semuanya sudah terlambat, karena detik demi detik, waktu sedang menggerogoti usianya; kini tinggal penyesalan yang menyekap ulu hatinya. Perlahan nafasnya kembali tersengal-sengal, sakarotul maut kembali hadir menjemput. Dalam kaburnya pandangan, ia masih sempat melihat isteri pertamanya berusaha memijit-mijit dan melumuri tubuhnya dengan balsem. Aduh, betapa setianya isteriku, pekiknya dalam hati. Tapi suaranya tidak keluar. Ia ingin meminta maaf atas perlakuannya selama ini dan mengucapkan terima kasih atas kesetiaannya dan kesediaannya  menemani  ke alam kubur. Tapi lagi-lagi ia makin merasa tiada daya lagi, rasa lemas, lunglai, kunang-kunang, kelabu, hitam, kelam, makin pekat, gelap……….Innaa lillaahi wa innaa ilahi roji’uun.
      Pengumuman kematiannya melalui corong di Musholla kampungnya  memecahkan sunyi pagi. Seorang lelaki yang pernah tercatat sebagai lelaki perkasa, bahkan ada yang menjulukinya dengan “bandot”, telah sampai ke ajalnya, tiada yang mampu mencegahnya, bahkan keperkasaan atau kebandotannya sekalipun. Tapi ada yang pasti dapat dipetik oleh siapapun yang masih hidup :  hikmah, pelajaran, atau ibroh dari kehidupannya, untuk menjadi cermin ………     
      Pembaca, saudaraku, siapakah lelaki tua bangka yang gelisah ketika hendak dijemput maut itu? Siapakah pejantan yang tak berdaya dan kecut menghadapi mati? Siapakah pria yang tak lagi perkasa itu dan takut hidup sendiri di alam kubur? Ternyata ia bukan siapa-siapa, ia adalah kita sendiri. Aku dan Anda semua. Ya, hakikatnya dalam hidup ini kita memiliki 4 (empat) orang isteri. Jika Anda seorang perempuan, maka keempat orang itu adalah “suami” Anda. Suami dalam tanda kutip. Jika kita ini sudah pasti : aku dan anda semua, maka siapakah ke-empat orang isteri atau “suami” kita ?
      Saya tidak mau berteka-teki. Itu adalah gambaran sikap dan tingkah laku kita dalam hidup ini. Sikap dan tingkah laku kita sering  atau bahkan selalu terburu nafsu, jika ada hal yang baru, kita segera tertarik dan bahkan ingin segera memerolehnya, kita lupa pada apa yang sudah kita miliki. Kalau kita sudah memeroleh yang baru, kita selalu lebih mencintai yang baru dan cenderung mengabaikan yang lama, padahal yang lama sebenarnya masih baik dan diperlukan, sedangkan yang baru justru belum tentu baik dan belum tentu juga diperlukan.
      Saya mau langsung beritahu Anda, bahwa empat orang isteri atau “suami”  kita adalah : isteri pertama adalah gambaran amal perbuatan kita, isteri kedua adalah gambaran keluarga kita, isteri ketiga adalah gambaran harta benda kita, dan isteri keempat adalah gambaran dari pangkat/jabatan/status sosial kita.
Penjelasannya sebagai berikut :
  1. Isteri pertama adalah amal perbuatan kita.
    Karena ingin memeroleh pangkat/jabatan/status sosial (isteri ke4), harta benda ( isteri ke3) dan kecintaan dari keluarga (isteri ke2), kita sering berbuat nekat, artinya tidak memerhatikan amal perbuatan kita : apakah amal perbuatan (baca : cara kerja, tindakan, sesuatu yang kita lakukan) untuk meraih ketiganya itu baik atau buruk. Kita sering tidak peduli pada baik atau buruk, halal atau haram, yang penting tujuan tercapai. Padahal amal perbuatan inilah yang akan setia menemani kita ke alam kubur, laksana isteri pertama yang selalu setia, bahkan sampai di akhirat, karena itulah yang dinilai oleh Allah SWT. Jika amal perbuatannya baik, ia memiliki nilai investasi positif di akhirat (: surga), sedangkan jika amal perbuatannya buruk, ia memiliki nilai investasi negatif di akhirat (: neraka). Amal perbuatan bernasib sama dengan isteri pertama, ia tidak pernah lagi diperhatikan dan dipedulikan, ketika kita tengah sibuk mengejar jabatan, memburu harta benda atau menarik kecintaan keluarga. Baru saat kita diujung ajal, di mana kita sangat memerlukan teman, ternyata pangkat/jabatan/stauts sosial tidak mau menjadi teman setia, demikian juga harta dan keluarga, semuanya pamit meninggalkan kita. Amal perbuatan, isteri pertama kita, justru yang selama ini disia-sia, terdzalimi, malah tetap setia menemani kita. Di sinilah penyesalan tiada arti lagi, mengapa tidak kita percantik amal perbuatan kita sejak dulu, sehingga ketika akan menjadi teman selama-lamanya di alam kubur, bahkan sampai ke alam akhirat, ia tetap dapat menyenangkan dan membahagiakan kita.
  1. Isteri kedua adalah keluarga kita.
    Isteri/suami (dalam arti sebenarnya), anak-anak, orangtua, saudara, paman, bibi,  kakek, nenek, adalah keluarga kita. Kita selalu mencintai dan ingin mendapat cinta juga dari mereka. Tapi mereka pasti tidak mau menemani kita ke alam kubur. Mungkin pada hari pertama, kedua atau ketiga dari kematian kita, mereka masih menemani kita  dengan doa-doa dan bacaan-bacaan lain yang dapat sedikit menghibur kita di alam kubur. Namun setelah itu, mereka pasti segera melupakan kita. Isteri atau suami kita, segera kawin dengan laki-laki atau perempuan lain, anak-anak tumbuh dan sibuk dengan kehidupannya sendiri, keluarga yang lain apalagi…..tidak mungkin mereka menjadi teman setia di alam kubur.
    Kecuali,  jika mereka kita didik dengan ajaran agama yang kokoh, insya Allah, mereka akan menemani kita dengan doa-doa tulusnya dan menghibur kita karena amal perbuatan kita selama di dunia mendidik mereka sehingga menjadi isteri/suami dan anak-anak yang saleh dan salehah.  
    Artinya, dalam rangka meraih kecintaan keluarga (isteri ke2), kita tetap harus memerhatikan amal perbuatan (isteri pertama) kita. Sikap, tindakan dan tingkah laku kita adalah sikap, tindakan dan tingkah laku yang baik, benar dan diridloi Allah SWT. Bukan sebaliknya.
  1. Isteri ketiga adalah harta benda kita.
    Harta benda memang diperlukan dalam hidup. Tapi dalam usaha memeroleh harta benda tersebut, kita tidak boleh memakai prinsip : yang penting dapat!, tanpa memerhatikan cara memerolehnya (baca : amal perbuatan/isteri pertama). Ada usaha yang halal dan ada yang haram. Kalau kita memerhatikan rambu-rambu tersebut, berarti kita tidak menyia-nyiakan isteri pertama. Pertanyaan untuk harta benda selalu dari mana atau dengan cara bagaimana memeroleh dan untuk apa dibelanjakan.
    Sayangnya kita sering terbuai oleh godaan harta benda, sehingga lupa bagaimana cara memerolehnya. Harta benda tampak begitu cantik, bak isteri ketiga kita, yang memanggil-manggil dengan suara mesra untuk segera diraih. Akhirnya, tanpa disadari, tapi lama kelamaan justru dengan penuh kesadaran kita terjerembab dalam kesibukan meraih sebanyak-banyak harta benda tanpa peduli lagi pada rambu-rambu. Tidak ingat lagi pada isteri pertama : amal perbuatan, sikap, dan tingkah laku kita sudah tidak cantik lagi, buruk…bahkan mengerikan! Padahal ketika kita mati, harta benda (isteri ketiga) ini akan jadi rebutan para ahli waris….ia tak sudi menemani kita di alam kubur, yang mau menemani di kuburan (bukan alam kubur) hanya harta yang berupa 3 lapis kain mori putih.
    Kecuali jika harta benda yang kita miliki itu kita peroleh dengan cara yang baik dan dibelanjakan di jalan yang diridloi Allah SWT, insya Allah menjadi amal jariyah yang pahalanya terus menemani kita ke alam kubur, bahkan sampai ke syurga. 
  1. Isteri keempat adalah pangkat/jabatan/status sosial kita.
    Inilah isteri termuda dan tercantik, paling dibanggakan dan selalu dituruti apa maunya. Kita sering mengorbankan apa saja, jangankan hanya isteri pertama, harga diri, muru’ah dan martabat kehormatan kita sebagai manusia juga tidak apa dilego demi isteri keempat ini. Jilat sana sembah sini, asal pangkat/jabatan/status sosial kita dapatkan. Kekuasaan, itulah intinya! Kalau yang kita pegang kekuasaan, maka apapun bisa kita dapatkan, sebanding dengan apa yang kita korbankan.
    Tak banyak beda dengan isteri ketiga, ia pasti menolak mentah-mentah untuk menemani kita ke alam kubur, karena kalau kita mati, masih banyak yang mengantri untuk menyuntingnya.  Tentu, jika kita peroleh kekuasaan itu dengan cara yang benar dan kita gunakan dengan benar dan dalam kebenaran, kharismanya  akan tetap melekat, meskipun kita sudah mati. Jasa dan situs-situsnya menjadi amal jariyah yang pahalanya menemani kita di alam kubur, bahkan sampai ke syurga. Kuburan kita akan penuh dengan para peziarah yang memohon berkah.
Demikian kisah antara kita dengan keempat isteri kita, baik dengan isteri dalam arti yang sebenarnya maupun dalam pengertian metaforis. Perlakuan kita hampir sama terhadap keempat-empatnya. Semoga kita mampu memetik hikmahnya. Salam. (Ikhsanuddin Azeth).

0 komentar:

Posting Komentar