Selasa, 28 Juni 2011

sistem kepartaian yang ideal


BAB I

PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang

Pemilu adalah sarana pelaksana kedaulatan rakyat untuk memiih anggota DPR,DPD dan DPRD serta Presiden dan Wakil Presiden. Partai politik dalam negara Republik Indonesia pada satu sisi berperan sebagai saluran utama untuk memperjuankan kehendak masyarakat, bangsa, dan negara. Sebagai amanat reformasi kualitas penyelenggaraan pemilu harus ditingkatkan agar lebih menjamin kompetisi yang sehat, partisipasif yang dinamis, derajat keterwakilan yang lebih tinggi dan mekanisme serta pertanggungjawaban yang jelas.
Tujuan diselenggarakannya pemilu adalah  untuk memilih wakil rakyat dan wakil derah untuk membentuk pemerintahan yang demokratis,kuat dan memperoleh dukungan rakyat dalam rangka mewujudkan tujuan nasional. Sejak kemerdekaan hingga tahun 2009 bangsa Indonesia telah menyelenggarakan Sepuluh kali pemilihan umum 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004 dan 2009. Dari pemilihan umum-pemilihan umum tersebut juga dapat diketahui adanya beberapa sistem yang digunakan  untuk mencari system pemilihan umum yang cocok untuk Indonesia.
Masing-masing pemilihan umum memiliki karakteristik masing-masing, bergantung pada tipe sistem politik yang berlangsung. Sistem Demokrasi Liberal menaungi pemilu 1955, 1999, dan 2004. Pemilu-pemilu lainnya terjadi di masa sistem politik rezim otoritarian kontemporer Orde Baru. Tipe sistem pemilihan umum yang banyak dipakai di Indonesia adalah Proporsional, dengan beberapa pengecualian.
Dalam ilmu politik dikenal bermacam-macam sistem pemilihan umum, akan tetapi umumnya berkisar pada dua prinsip pokok, yaitu :
1.      Single Member Constituency (satu daerah pemilihan memiliki satu wakil; biasanya disebut Sistem Distrik).
2.      Multi Member Constituency (satu daerah pemilihan memilih beberapa wakil; biasanya dinamakan Proportional Representation atau Sistem Perwakilan Berimbang).
Pemilu sistem distrik dan sistem proporsional masih menjadi perdebatan diantara para ahli dan praktisi politik. Masing-masing mereka memiliki alasan yang kuat untuk bisa menerapkan salah satu dari sistem tersebut di negara mereka. Begitu pula dengan Indonesia.
B.     Tujuan
Tujuan dalam penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas terstruktur mata kuliah hukum kepartaian dan pemilu  dan untuk mengetahui sistem pemilihan yang cocok untuk Indonesia serta untuk menambah pengetahuan kita sehingga di harapkan bermanfaat bagi kita semua.






















BAB II
Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah:
1.      Apa sajakah asas-asas pemilu dan syarat pemilu di Indonesia ?
2.      Apa sajakah sistem pemilu yang ada di Indonesia serta kelebihan dan kelemahan dari sistem tersebut ?
3.      Sistem pemilu yang bagaimanakah yang cocok untuk diterapkan di Indonesia ?
4.      Bagaimana pencegahan agar partai yang dominan tidak hanya mementingkan kepentingan partai itu namun mementingkan kepentingan umum?
















BAB III
Pembahasan
A.      Asas-asas pemilu dan syarat pemilu di Indonesia
Pemilihan umum di Indonesia menganut asas “Luber” yang merupakan singkatan dari “Langsung, Umum, Bebas dan Rahasia”. Asas “Luber” sudah ada sejak zaman Orde Baru. Langsung berarti pemilih diharuskan memberikan suaranya secara langsung dan tidak boleh diwakilkan. Umum berarti pemilihan umum dapat diikuti seluruh warga negara yang sudah memiliki hak menggunakan suara. Bebas berarti pemilih diharuskan memberikan suaranya tanpa ada paksaan dari pihak manapun, kemudian Rahasia berarti suara yang diberikan oleh pemilih bersifat rahasia hanya diketahui oleh si pemilih itu sendiri.
Kemudian di era reformasi berkembang pula asas “Jurdil” yang merupakan singkatan dari “Jujur dan Adil”. Asas jujur mengandung arti bahwa pemilihan umum harus dilaksanakan sesuai dengan aturan untuk memastikan bahwa setiap warga negara yang memiliki hak dapat memilih sesuai dengan kehendaknya dan setiap suara pemilih memiliki nilai yang sama untuk menentukan wakil rakyat yang akan terpilih. Asas adil adalah perlakuan yang sama terhadap peserta pemilu dan pemilih, tanpa ada pengistimewaan ataupun diskriminasi terhadap peserta atau pemilih tertentu. Asas jujur dan adil mengikat tidak hanya kepada pemilih ataupun peserta pemilu, tetapi juga penyelenggara pemilu.
Syarat Pemilu Demokratis
Disepakati bahwa pemilu merupakan sarana demokrasi untuk membentuk kepemimpinan negara. Dua cabang kekuasaan negara yang penting, yaitu lembaga perwakilan rakyat ( badan legislatif) dan pemerintah (badan eksekutif), umumnya dibentuk melalui pemilu. Walau pemilu merupakan sarana demokrasi, tetapi belum tentu mekanisme penyelenggaraannya pun demokratis. Sebuah pemilu yang demokratis memiliki beberapa persyaratan.
  1. Pemilu harus bersifat kompetitif, artinya peserta pemilu baik partai politik maupun calon perseorangan harus bebas dan otonom. Baik partai politik yang sedang berkuasa, maupun partai-partai oposisi memperoleh hak –hak politik yang sama  dan dijamin oleh undang - undang (UU), seperti kebebasan berbicara, mengeluarkan pendapat, berkumpul dan berserikat. Syarat kompetitif juga menyangkut perlakuan yang sama dalam menggunakan sarana dan prasarana publik, dalam melakukan kampanye, yang diatur dalam UU. Misalnya stasiun televisi milik negara harus memberikan kesempatan yang besar pada partai  politik yang berkuasa, sementara kesempatan yang sama tidak diberikan pada partai-partai peserta pemilu lainnya.
  2. Pemilu harus diselenggarakan secara berkala. Artinya pemilihan harus diselenggarakan  secara teratur dengan jarak waktu yang jelas. Misalnya setiap empat, lima, atau tujuh tahun sekali. Pemilihan berkala merupakan mekanisme sirkulasi elit, dimana pejabat yang terpilih bertanggung jawab pada pemilihnya dan memperbaharui mandat yang diterimanya pada pemilu sebelumnya. Pemilih dapat kembali memilih pejabat yang bersangkutan jika merasa puas dengan kerja selama masa jabatannya. Tetapi dapat pula menggantinya dengan kandidat lain yang dianggap lebih mampu, lebih bertanggung jawab, lebih mewakili kepemimpinan, suara atau aspirasi dari pemilih bersangkutan. Selain itu dengan pemilihan berkala maka kandidat perseorangan atau kelompok yang kalah dapat memperbaiki dan mempersiapkan diri lagi untuk bersaing dalam pemilu berikut.
  3. Pemilu haruslah inklusif. Artinya semua kelompok masyarakat baik kelompok ras, suku, jenis kelamin, penyandang cacat, lokalisasi, aliran ideologis, pengungsi dan sebagainya harus memiliki peluang yang sama untuk berpartisipasi dalam pemilu. Tidak ada satu kelompok pun yang didiskriminasi oleh proses maupun hasil pemilu. Hal ini diharapkan akan tercermin dalam hasil pemilu yang menggambarkan keanekaragaman dan perbedaan - perbedaan di masyarakat.
  4. Pemilih harus diberi keleluasaan untuk mempertimbangkan dan mendiskusikan alternatif pilihannya dalam suasana yang bebas, tidak dibawah tekanan, dan akses memperoleh informasi yang luas. Keterbatasan memperoleh informasi membuat pemilih tidak memiliki dasar pertimbangan  yang cukup dalam menetukan pilihannya. Suara pemilih adalah kontrak yang (minimal) berusia sekali dalam periode pemilu (bisa empat, lima, atau tujuh tahun). Sekali memilih, pemilih akan ”teken kontrak” dengan partai atau orang yang dipilihnya dalam satuperiode tersebut. Maka agar suara pemilih dapat diberikan secara baik, keleluasaan memperoleh informasi harus benar-benar dijamin.
  5. Penyelenggara pemilu yang tidak memihak dan independen. Penyelenggaraan pemilu sebagian besar adalah kerja teknis. Seperti penentuan peserta pemilu, Pembuatan kertas suara, kotak suara, pengiriman hasilpemungutan suara pada panitia nasional, penghitungan suara, pembagian cursi dan sebagainya. Kerja teknis tersebut dikoordinasi oleh sebuah panitia penyelenggara pemilu. Maka keberadaan panitia penyelenggara pemilu yang tidak memihak, independen, dan profesional Sangay menentukan jalannya proses pemilu yang demokratis. Jika penyelenggara merupakan bagian dari partai politik yang berkuasa, atau berasal dari partai politik peserta pemilu, maka azas ketidakberpihakan tidak terpenuhi. Otomatis nilai pemilu yang demokratis juga tidak terpenuhi.

B.     Sistem pemilu yang ada di Indonesia
  1. Sistem Proporsional
Sistem proposional (multi member constituency) adalah sistem pemilihan umum, dimana wilayah negara atau wilayah pemilihan dibagi - bagi dalam daerah - daerah pemilihan yang dikenal dengan singkatan dapil, dimana tiap - tiap daerah jumlah wakil yang akan duduk dalam perwakilan lebih dari satu orang wakil. Kelebihan sistem proposional :
  1. Sistem proposional dianggap representative
  2. Sistem proposional dianggap lebih demokratis
Kelemahan sistem proposional :
  1. Sulit terjadinya intergrasi partai,karena partai cenderung bertambah
  2. Kader partai sulit berkembang, karena penentuan calon jadi didasarkan nomor urut.
3.      wakil terpilih belum tentu orang dikenal pemilih secara baik.karena banyak partai sulit mendapatkan suara mayoritas
2. Sistem distrik (single member constituency)
Sistem distrik adalah sistem pemilihan umum, dimana wilyah negara atau wilayah pemilihan dibagi – bagi dalam distrik atau wilayah pemilihan dimana tiap wilyah akan dipilih satu wakil atau calon wakil yang mendapatkan suara terbanyak diwilyahnya.
Sistem ini memiliki kelemahan sebagai berikut :
  1. Sistem ini kurang memperhatikan partai kecil.
  2. Banyak suara hilang
  3. Kurang efektif dalam masyarakat yang plural
  4. wakil terlaluberorentasi pada daerah pemilih.
Keunggulan dari Sistem Pemilihan Distrik
Negara-negara yang menganut sistem ini dianggap lebih menguntungkan daripada sistem pemilihan lain:
1.      Karena kecilnya distrik, maka wakil yang terpilih dapat dikenal oleh penduduk distrik, sehingga hubungannya dengan penduduk distrik lebih erat. Dengan demikian dia akan lebih terdorong untuk memperjuangkan kepentingan distrik. Lagipula, kedudukannya terhadap partainya. akan lebih bebas, oleh karena dalam pemilihan semacam ini faktor personalitas dan kepribadian seseorang merupakan .faktor yang penting.
2.      Sistem ini lebih mendorong ke arah integrasi partai-partai politik karena kursi yang diperebutkan dalam setiap distrik pemilihan hanya satu. Hal ini akan mendorong partai-partai untuk menyisihkan perbedaan-perbedaan yang ada dan mengadakan kerjasama. Disamping kecenderungan untuk membentuk partai baru dapat sekedar dibendung, sistem ini mendorong ke arah penyederhanaan partai tanpa diadakan paksaan. Maurice Duverger berpendapat bahwa dalam negara seperti Inggris dan Amerika. sistem ini telah memperkuat berlangsungnya sistem dwi partai.
3.      Berkurangnya partai dan meningkatnya kerjasama antara partai-partai mempermudah terbentuknya pemerintah yang stabil dan mempertingkat stabilitas nasional.
4.      Sistem ini sederhana dan murah untuk diselenggarakan

3.      Sistem pemilihan yang cocok untuk Indonesia
Perbandingan Sistem Pemilihan Disrik dengan Sistem Pemilihah Proporsional.
Pada sistem distrik, daerah pemilihan berbasis pada jumlah penduduk. Sedang pada sistem proporsional, basis pemilihan wilayah (biasanya propinsi) terlepas jumlah penduduknya sama atau tidak .
Pada sistem distrik, ukuran daerah pemilihan kecil, berupa distrik, sehingga jumlah daerah pemilihan menjadi banyak. Sedangkan pada sistem proporsional, ukuran daerah pemilihan besar (di Indonesia propinsi), sehingga jumlah daerah pemilihan menjadi lebih sedikit.
Pada sistem distrik, batasan daerah pemilihan berubah-ubah sesuai dengan perkembangan jumlah penduduk. Sedangkan pada sistem proporsional, batasan daerah tetap, kerena tak bergantung pada perubahan jumlah penduduk.
Pada sistem distrik, setiap daerah pemilihan (distrik) hanya ada satu wakil terpilih. Sedangkan pada sistem proporsional, setiap daerah pemilih (wilayah) punya beberapa wakil secara proporsional.
Pada sistem distrik, caleg harus berasal/berdomisili di daerah pemilih (distrik) tempat dirinya dicalonkan. Sedangkan pada sistem proporsional, asal caleg bebas, tidak harus putra daerah.
Pada sistem distrik, hubungan pemilih dengan caleg terpilih bisa berupa hubungan langsung (baca: lewat caleg independen), namun dapat pula melalui partai (dicalonkan oleh partai). Dengan kata lain, caleg terpilih dicalonkan oleh pemilih atau pemilih dan partai. Sedangkan pada sistem proporsional, hubungan pemilih dengan caleg terpilih melalui partai, (tak ada caleg independen). Artinya, caleg dicalonkan oleh dan melalui partai.
Pada sistem distrik, caleg terpilih bertanggung jawab kepada rakyat pemilih (untuk caleg independen) atau kepada rakyat pemilih dan partai. Dengan kata lain, dalam sistem ini kekuasaaan partai atas caleg terpilih sangat kecil. Sedang pada sistem proporsional, caleg terpilih lebih bertanggung jawab kepada partainya bukan kepada rakyat pemilih, karena memang partai yang mencalonkan dirinya. Singkatnya, kekuasaan partai atas caleg terpilih cukup besar.
Pada sistem distrik, caleg dikenal oleh rakyat pemilih. Bila tak dikenal hampir pasti dia tak akan dipilih. Sistim ini menekankan kualitas dan atau popularitas individu. Sedang pada sistem proporsional, Caleg kurang atau bahkan bisa tidak dikenal rakyat pemilih, karena memang rakyat hanya memilih tandanya saja,
bukan memilih individu caleg.
Pada sistem distrik, cenderung merugikan partai kecil, karena suara pihak yang kalah hilang alias tidak dihitung. Akibatnya, hasil perbandingan suara pemilih dan wakil terpilih menjadi tidak berimbang (proporsional). Sedang pada sistem proporsional, cenderung menguntungkan partai kecil, karena semua suara memang dihitung secara proporsional, alias tidak ada suara yang hilang.
Pada sistem distrik, banyak suara yang hilang sia-sia (wasted), sehingga pemilih pun akan kian malas untuk memilih partai yang sudah pasti kalah (partai gurem). Dengan sistem penghitungan suara seperti ini, maka pada akhirnya akan cenderung menghasilkan dua partai besar. Sedang pada sistem proporsional, suara asti dihitung, maka sistem ini cenderung menghasilkan multi partai, sebab meskipun partainya kecil, tetapi tetap berharap dapat kursi hasil gabungan dari suara di berbagai wilayah.
Pada sistem distrik, Adanya dua partai besar memungkinkan partai yang menang mendapat suara mayoritas mutlak, sehngga tidak mengarah ke pemerintahan koalisi. Sedang pada sistem proporsional, partai kecil tetap eksis, maka suara/kursi menjadi terpecah-pecah ke dalam partai-partai kecil. Untuk dapat membentuk pemerintahan mayoritas mutlak (50% + 1), biasanya partai-partai akan mengarah kepemerintahan koalisi.
Pada sistem distrik, cenderung ke sistem sentralisasi, karena wakil rakyat memang lebih loyal pada pemilih dan konstituensinya, bukan kepada pusat. Implikasinya, sistem distrik menghasilkan keterbukaan pertanggung jawaban politik dari wakil terhadap rakyat yang diwakili. Sedang pada sistem proporsional, cenderung ke arah sentralisasi, karena wakil rakyat loyal pada pusat.
Berdasarkan perbandingan di atas, system pemilihan umum yang cocok di Indonesia adalah system pemilihan umum dengan system distrik karena wilayah Indonesia yang sangat luas dan memiliki jumlah penduduk yang banyak dan persebaran penduduk yang tidak merata, agar tiap daerah memiliki jumlah perwakilan yang sama, sehingga tidak menimbulkan diskriminasi pada setiap daerah. Jadi dalam hal ini jumlah penduduk Indonesia tidak akan mempengaruhi jumlah anggota dewan tetapi berdasarkan jumlah distrik yang terdapat pada tiap daerah dan hal ini akan lebih menghemat biaya di bandingkan dengan system pemilihan proporsional.
Setiap distrik memiliki satu wakil yang berdomisili di daerah pemilih yang memiliki hubungan lagsung dengan pemilih dalam hal ini caleg independen namun dapat pula perwakilan partai. Dengan kata lain, caleg terpilih dicalonkan oleh pemilih atau pemilih dan partai. Selain itu, caleg terpilih bertanggung jawab kepada rakyat pemilih (untuk caleg independen) atau kepada rakyat pemilih dan partai. System ini juga menjadikan wakil rakyat memang lebih loyal pada pemilih. sistem distrik menghasilkan keterbukaan pertanggung jawaban politik dari wakil terhadap rakyat yang diwakili.
 Pada sistem distrik, caleg dikenal oleh rakyat pemilih. Bila tak dikenal hampir pasti dia tak akan dipilih. Sistim ini menekankan kualitas dan atau popularitas individu. Kemudian apabila menggunakan system ini maka dengan sendirinya partai-partai kecil gugur.






















BAB IV
KESIMPULAN
Bahwa system pemilihan umum yang cocok untuk diterapkan di Indonesia adalah system pemilihan umum dengan system distrik. Alasannya:
1.      Karena kecilnya distrik, maka wakil yang terpilih dapat dikenal oleh penduduk distrik, sehingga hubungannya dengan penduduk distrik lebih erat. Dengan demikian dia akan lebih terdorong untuk memperjuangkan kepentingan distrik. Lagipula, kedudukannya terhadap partainya. akan lebih bebas, oleh karena dalam pemilihan semacam ini faktor personalitas dan kepribadian seseorang merupakan .faktor yang penting.
2.      Sistem ini lebih mendorong ke arah integrasi partai-partai politik karena kursi yang diperebutkan dalam setiap distrik pemilihan hanya satu. Hal ini akan mendorong partai-partai untuk menyisihkan perbedaan-perbedaan yang ada dan mengadakan kerjasama. Disamping kecenderungan untuk membentuk partai baru dapat sekedar dibendung, sistem ini mendorong ke arah pe¬nyederhanaan partai tanpa diadakan paksaan. Maurice Duverger berpendapat bahwa dalam negara seperti Inggris dan Amerika. sistem ini telah memperkuat berlangsungnya sistem dwi partai.
3.      Berkurangnya partai dan meningkatnya kerjasama antara partai-partai mempermudah terbentuknya pemerintah yang stabil dan mempertingkat stabilitas nasional.
4.      Sistem ini sederhana dan murah untuk diselenggarakan













0 komentar:

Posting Komentar